Selasa, 20 April 2010

KEBIJAKAN DISKRIMINATIF UNTUK MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN MADURA PASCA SURAMADU

Dengan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura melalui jalan darat, diharapkan ketimpangan sosial dapat segera direduksi. Arus transportasi yang cepat dan efektif akan membuat perkembangan Madura segera melejit, bersaing dengan daerah-daerah lain. Tata wilayah dan tata guna lahan juga akan terbentuk secara proporsional.

Dengan selesainya proyek tersebut, maka tidak bisa dielakkan bahwa terbangunnya jembatan tersebut akan berdampak terhadap peradaban di Madura. Maka dari itu, setidaknya dampak yang akan timbul tidak berarti dampak negatif, melainkan dampak positip yang ada.

Madura selama ini dikenal sebagai daerah yang ketinggalan diantara 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi di Pulau Garam selalu dibawah rata-rata (Irawulan, 2009). Keberadaan Jembatan Suramadu diharapkan mengubah kondisi perekonomian Madura menjadi meningkat begitupula dengan pendidikan masyarakat di kawasan tersebut.

Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura melalui jalan darat, diharapkan ketimpangan sosial dapat segera direduksi. Arus transportasi yang cepat dan efektif akan membuat perkembangan Madura segera melejit, dan bisa bersaing dengan daerah-daerah lain. Tapi apakah memang benar demikian adanya?

Pembangunan ekonomi tidak terlepas dari campur tangan Investor Global (pihak yang bermodal besar) yang nantinya akan mengarah pada kapitalisme global. Tentu tidak asing lagi bagi kita tentang eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada di daerah yang menjadi objek pembangunan ekonomi, dan wacana ini hanya untuk pemikiran dangkal saja tanpa memperhatikan waktu jangka panjang dan dampak yang akan dialami oleh daerah yang bersangkutan. Contoh : ketika pembangunan Pulau Batam yang dimana para Investor asing masuk, tenaga dari luar daerah masuk pula sehingga masyrakat asli Batam terpinggirkan karena SDMnya masih rendah, begitu juga tentang Eksploitasi Minyak di Cepu oleh Ecson Mobile, dan juga Investor Lokal di Porong Sidoarjo yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi Eksploitasi Tambang Emas di Papua.

Dan agar peristiwa ini tidak terulang lagi di Madura, maka dibutuhkan suatu kebijakan yang memihak pada masyarakat madura yang nota bene kemampuan SDM nya masih rendah, sehingga mereka nantinya tidak terpinggirkan dan hanya menjadi penonton ditengah industrialisasi di daerahnya.

Tidak bisa dipungkiri sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Madura saat ini masih belum siap melakukan dan menghadapi industrialisasi Madura pasca - Suramadu. Berdasar demografi pendidikan di Bangkalan dalam Angka 2009, masih 50 persen sumber daya manusia (SDM) - nya adalah lulusan sekolah dasar (SD). Madura hanya memiliki sedikit SDM berketerampilan sarjana.

Pembangunan tidak akan berjalan baik jika dibiarkan berjalan secara alamiah. Pembangunan Madura harus berjalan dengan rencana. Maka, harus dibangun sistem yang kondusif secara sosial. Mengingat Madura belum memiliki SDM yang belum mampu dan siap, maka diperlukan discriminative action (menurut mahfud MD dalam diskusi tentang pembangunan madura pasca suramadu). Discriminative action adalah merupakan salah satu jalan keluar. Paling tidak, kebijakan itu bisa menjadi obat sementara untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Madura. "Madura ini perlu kebijakan afirmatif. Kebijakan ini bersifat diskriminasi sementara, tapi dibenarkan sampai keadaan menjadi setara

Kebijakan diskriminatif pernah dilakukan di Amerika Serikat. Yaitu, saat pemerintah Amerika hendak menyetarakan hak penduduknya yang berkulit hitam. "Jadi, di Amerika waktu itu ada keistimewan pada warga kulit hitam untuk disediakan bangku di sekolah - sekolah. Sebab, kalau tidak begitu mereka tidak bisa sekolah. Hal yang sama juga dilakukan konstitusi Indonesia terhadap hak politik perempuan. "Kita tahu perempuan diberi jatah 30 persen di parlemen. Perempuan itu tidak perlu bertarung. Kalau tidak begitu, perempuan tidak akan dipilih”.

Nah, di Madura, perlakuan khusus tersebut bisa dipakai dalam hal SDM. Misalnya, ada posisi pekerjaan yang membutuhkan S1 (sarjana strata 1), untuk sementara posisi itu ditempati oleh SDM Madura lulusan diploma atau lainnya. "Kebijakan seperti bisa dipertahankan terus sampai kondisinya setara. Artinya, kalau sudah banyak lulusan S1 di Madura, maka kebijakan itu berangsur bisa ditiadakan.

Bukan hanya dalam hal SDM. Discriminative action juga diperlukan untuk mendukung pembangunan Madura. Sudah sepatutnya masyarakat Madura bersama dengan pemerintah daerahnya mendesak dengan negosiasi yang berani agar Madura segera bisa dibangun.

Implikasi keberadaan Suramadu diakui atau tidak harus memaksa semua pihak di Madura berbuat. Sebab, Suramadu akan memancing selera investasi. Kalau tidak terpancing, maka masyarakat madura yang harus memancing mereka supaya datang ke Madura.

Mainstream pembangunan Madura harus lebih luas. Pembangunan Madura harus diartikan juga pembangunan Indonesia. Karena itu, kita semua harus menegaskan komitmen bagaimana membangun Madura sebagai bagian dari membangun Indonesia. Maka, pemerintah provinsi dan pusat harus ikut bertanggung jawab membangun Madura. Untuk merealisasikannya, semua pihak harus ikut bertanggung jawab dengan melakukan sinkronisasi. Sehingga, tidak ada tumpang tindih kewenangan. Apalagi BPWS sudah siap membangun dengan anggarannya.

Hingga saat ini Suramadu masih berfungsi sebatas jembatan penyeberangan. Harapannya Pemprov Jawa Timur mulai memperlihatkan fakta dukungannya di APBD 2010 untuk pembangunan Madura. Karena itu, para bupati Madura harus merapatkan barisan. Sebab, Madura tidak bisa dibangun secara parsial (terpisah).

Terakhir, Madura memang seringkali menjadi bahan pembicaraan dan menjadi perhatian. Namun, hingga saat ini belum ada pembicaraan final terkait Madura. Maka semua pembicaraan ini harus segera diselesaikan dan segera membuat kesepakatan final mengenai kebijakan pembangunan Madura secara terpadu dan khusus agar masyarakat lokal yang SDM nya masih rendah tidak terpinggirkan ditengah industrialisasi Madura.

Sumber : Jawa Pos