Senin, 20 Desember 2010

Good Governance dan Reinventing Government

1. Good Governance
Konsep governance mulai berkembang pada awal 1990-an ditandai dengan adanya cara pandang (point of view) yang baru terhadap peran pemerintah (government) dalam menjalankan sistem pemerintahan. Pandangan ini muncul karena peran pemerintah dinilai terlalu besar dan terlalu berkuasa, sehingga masyarakat tidak memiliki keleluasaan dan ruang untuk berkembang (Basuki dan Shofwan, 2006:8). Istilah governance dalam bahasa Inggris berarti “the act, fact, manner of governing”, yang berarti adalah suatu proses kegiatan. Kooiman dalam Sedarmayanti (2004:2) mengemukakan bahwa: Governance ialah serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.
Pada dasarnya, istilah governance bukan hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan saja, melainkan juga mengacu kepada arti pengurusan, pengarahan, pengelolaan, dan pembinaan penyelenggaraan. Berdasarkan dari apa yang diungkapkan oleh Kooiman di atas, dapat dipahami bahwa keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan merupakan semangat yang terdapat dalam konsep good governance.
United Nations Development Program dalam Sedarmayanti (2004:3) mendefinisikan governance sebagai berikut : ”Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affair at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population”. (“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan di bidang ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatan dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kepaduan sosial, integrasi, dan menjamin kesejahteraan masyarakat”). Sedangkan kata “good” yang berarti “baik” dalam istilah kepemerintahan memiliki dua arti, yaitu:
1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional yang mandiri, berkelanjutan, dan berkeadilan sosial.
2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan nasional tersebut. 

United Nation Development Programme (UNDP) menyaratkan 10 prinsip untuk terselenggaranya good governance, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Akuntabilitas: meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
  2. Pengawasan: meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
  3. Daya tanggap: meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
  4. Profesionalisme: meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
  5. Efisiensi & Efektivitas: menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung jawab.
  6. Transparansi: menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
  7. Kesetaraan: memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
  8. Wawasan kedepan: membangun daerah berdasarkan visi & strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
  9. Partisipasi: mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
  10. Penegakan hukum: mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Lembaga Administrasi Negara (2000:5) menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, serta solid dan bertanggung jawab, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Good governance merupakan suatu upaya mengubah watak pemerintah untuk tidak bekerja sendiri tanpa memperhatikan kepentingan atau aspirasi masyarakat. Di dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan good governance, masyarakat tidak lagi dipandang sebagai obyek, tetapi dipandang sebagai subyek yang turut mewarnai program-program dan kebijakan pemerintahan.

2. Reinventing Government
Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New Public Management dimana dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public Management (NPM). Warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Prinsip dalam New Public Management (NPM) berbunyi, “dekat dengan warga, memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga”
Konsep reinventing government, apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia konsep ini berarti menginventarisasikan lagi kegiatan pemerintah. Pada awalnya, gerakan reinventing government diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Pressure dari publik sebagai pembayar pajak mendesak pemerintah untuk mengefisiensikan anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah membebani keuangan Negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Dengan demikian, maka akan terjadi proses pereduksian peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang semula merupakan “big government” ingin dijadikan “small government” yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap kepentingan publik.
Proses inventarisasi dan reduksi pemerintah paling tidak dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui perbaikan menajemen pemerintahan dari gaya birokratis ke gaya entrepreuner yang umumnya diterapkan di sektor bisnis. Perspektif ini mereformasi pendekatan manajemen pelayanan publik di Indonesia yang sebelumnya menggunakan pendekatan birokratis.
Teknik-teknik manajemen yang biasa digunakan disektor bisnis telah digunakan disektor pemerintahan, seperti penyusunan Renstra dan pengukuran kinerja untuk pemerintahan lokal dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tertuang dalam AKiP (Akuntabilitas Kinerja Pemerintah). Inefisiensi unsur-unsur sektor pemerintah seperti Departemen, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lain-lain, menyebabkan pendekatan ini mendapatkan tempat, apalagi didukung realita anggaran pemerintah yang mengalami defisit dan keharusan membayar hutang luar negeri (Wijaya, 2006:152).
Cara yang kedua yakni dengan mentransfer beberapa fungsi-fungsi pelayanan publik ke sektor non-pemerintah, seperti penggunaan manajemen kontrak, privatisasi, dan membuka alternatif-alternatif pelayanan sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan. Tapi dalam melakukan privatisasi harus terlebih dahulu melalui kajian yang mendalam dan penuh kehati-hatian (prudential measures).
Ada sepuluh prinsip reinventing government yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (1996 :29-343), yaitu:

1. Pemerintahan katalis;  fokus pada pemberian pengarahan, bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Sebaiknya pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan non profit lainnya). 
2. Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendirinya (self-help community). 
3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. 
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya. 
5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka memiliki peluang baru, semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut. 
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan; memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi arogan. Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab pada dewan legislatif; tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda : kepada legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat. 
7. Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan. Pemerintah tradisional cenderung tidak berbicara tentang upaya menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal, banyak yang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik. Pemerintah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan, seperti : BPS dan Bappeda yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian, pemberian hak guna usaha kepada pengusaha dan masyarakat, penyertaan modal, dan lain-lain. 
8. Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik, serta cenderung bersifat reaktif. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi. 
9. Pemerintah desentralisasi; dari hierarki menuju partisipatif dan tim kerja. lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan hierarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan bisnis. Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok, karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar lokasi masih lamban, dan aparatur pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk langsung. Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju dan keinginan masyarakat sudah semakin kompleks, sehingga pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.  
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar; mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran New Public Management ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan. Di dalam doktrin Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau hasil kerja.  

Selanjutnya, bagaimana konsep birokrasi entrepreneurial ini dapat diterapkan di Indonesia, terutama dalam konteks otonomi daerah? Dengan kata lain, apa yang dapat kita lakukan untuk menumbuhkan birokrasi yang mempunyai semangat wirausaha ini dalam birokrasi pemerintahan daerah sehingga tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dicapai dengan baik.
Untuk menjawab permasalahan ini, Osborne dan Plastrik menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan birokrasi yang efektif dan efisien, ataupun kemampuan menyesuaikan atau adaptability, dan kapasitas untuk memperbarui sistem dan organisasi publik.
 1. Strategi inti (the core strategy)
Strategi ini menentukan tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.
Jadi dengan demikian penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai peran yang sama pentingnya dalam melengkapi tujuan organisasi publik. Hal ini penting sebagai usaha agar karyawan atau pegawai mempunyai arah dan pegangan yang jelas. Di luar itu, strategi ini terutama berkaitan dengan usaha-usaha memperbaiki pengarahan (steering).

2. Strategi konsekuensi (the consequences strategy) 
Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus, mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan.
Dalam rangka reinventing government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan antar organisasi publik).
Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi.


3. Strategi pelanggan (the customers strategy) 
Strategi ini terutama memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas.
 Model pertanggungjawaban seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-organisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat/konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers satisfaction).

4. Strategi Pengawasan (the control strategy) 
Strategi ini menentukan di mana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain, wewenang tertinggi untuk membuat keputusan berada pada puncak hierarkhi.
Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini dipaksakan, maka jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barierrs. Pada akhirnya, secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi ruang yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah.
Lebih lanjut, dalam model birokrasi lama, para pengelola atau manajer mempunyai pilihan-pilihan yang terbatas, dan keleluasan atau fleksibilitas mereka dihimpit oleh ketentuan-ketentuan anggaran yang terinci, peraturan-peraturan perorangan, sistem pengadaan (procurement systems), praktek-praktek audit, dan sebagainya. Karyawan hampir tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan. Akibatnya, organisasi-organisasi pemerintah lebih menanggapi perintah-perintah baru dibandingkan dengan situasi yang berubah atau kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Oleh karena itu, adalah penting mendesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab dikalangan para pegawai birokrasi, dan dalam konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi kebijakan.

5. Strategi budaya (the culture strategy) 
Strategi ini menentukan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungjawaban, dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.



Artikel terkait :
  1. Pembangunan Ekonomi Daerah
  2. Strategi Pembangunan Ekonomi Daerah
  3. Pembangunan Daerah
  4. Jurnal Service Quality Parasuraman, Valarrie & Berry 1998 vol 64 No.1 
  5. Pengertian dan Karkteristik Pelayanan Publik 
  6. Kualitas Pelayanan Publik 
  7. Alternatif pendanaan pembangunan dalam pengelolan sampah
  8. Pelayanan perizinan di Kabupaten Jombang
  9. Sistem perencanaan pembangunan yang paling cocok diterapkan di Indonesia ditinjau dari beberapa aspek
  10. Penanaman Modal Asing di Kabupaten Jombang
  11. Tela'ah Kritis Kebijakan Perekonomian Pemkab Jombang tahun 2009 - 2013