Kemiskinan, hingga hari ini, tetap menjadi problematika mendasar yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi masalah ini mengingat terbatasnya dana yang tersedia dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar Negeri (PLN) Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi masalah menjadi kurang dipertimbangkan.
Salah satu alternatif yang masih memiliki harapan untuk mengatasi masalah ini adalah adanya partisipasi aktif dari pihak non pemerintah, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Masyarakat, khususnya golongan kaya, memiliki kemampuan untuk membantu meringankan penderitaan masyarakat miskin melaui infaq. Apabila potensi infaq masyarakat (kaya) ini dapat dikoordinasikan serta dikelola dengan baik, maka hal ini dapat memberikan alternatif kontribusi penyelesaian positif atas masalah kemiskinan tersebut di atas.
PEMBAHASAN
Di dalam Al-Qur’an kata infaq disebut tidak kurang 80 kali dalam berbagai surah dan bentuk derivasinya. Infaq lebih bersifat pemberian materi untuk kepentingan kebaikan bila ditinjau dari sudut terminologi Islam. Ini tentu untuk lebih memudahkan kita membedakannya dengan shodaqoh atau sedekah yang berkonotasi mirip namun memiliki cakupan lebih luas daripada infaq yakni dapat juga berupa immateri seperti memberikan senyum tulus kepada saudara kita dan berbagai kebaikan immateri lainnya.
Data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menyebutkan bahwa poetnsi zakat di Indonesia mencapai Rp. 19.3 trilyun pertahun. Sedangkan yang mampu dihimpun oleh BAZ atau LAZ hingga detikini barulah sekitar Rp 925 milyar per tahun atau sekitar 5% nya saja.
Ini adalah data gamblang dari suatu potensi yang sebenarnya merupakan fardu‘ain bagi setiap muslim. Maka infaq sesungguhnya adalah ruang besar yang juga Alloh ciptakan untuk membuka banyak pintu kebaikan bagi diri dan ummat Islam. Fenomena begitu semangatnya masyarakat dalam membantu bencana alam dinegri ini seperti kasus Tsunami Aceh, dan Gempa di Yogyakarta adalah contoh sederhana untuk membuktikan bahwa boleh jadi kecilnya perolehan dana zakat di tanah air adalah karena faktor pemahaman yang minim terhadap kewajiban berzakat di tengah masyarakat muslim kita.
Padahal Islam mengajarkan kepada kita untuk bersikap tatowwu’ atau melebihkan atau menambah kebaikan yang kita lakukan sebagai bentuk bakti kita kepada Alloh Sang Pencipta. Ini berlaku untuk semua jenis ibadah seperti misalnya ibadah sholat. Selain yang wajib yakni sholat 5 waktu, seorang muslim juga sangat dianjurkan melakukan sholat-sholat sunnah seperti sholat sunnah nawafil, qiyamullail atau sholat tahajjud, sholat dhuha dan lain-lain. Dalam konteks harta tentu yang dimaksud disini adalah infaq, setelah seorang muslim menunaikan kewajiban fardhu nya yakni mengeluarkan zakatnya kepada baitulmaal atau lembaga zakat yang ada. Melakukan tambahan kebaikan sesungguhnya juga adalah tolak ukur bagi kualitas keberimanan seorang muslim itu sendiri dihadapan Alloh dan manusia.
Tak pelak lagi infaq sesungguhnya adalah ruang besar yang juga Alloh ciptakan untuk membuka banyak pintu kebaikan bagi diri dan ummat Islam. Karakteristik pemanfaatan dan alokasi dari infaq juga jauh lebih luas bila dibandingkan zakat yang jelas harus disalurkan kepada 8 asnaf atau golongan yang digariskan Alloh didalam QS At-Taubah: 60. Ruang besar yang dimaksud salah satunya adalah dari sisi pemaksimalan pemberdayaan umat islam ditanah air yang dalam hal ini dilakukan oleh lembaga-lembaga amil yang ada. Kalau zakat fatwanya masih lebih ditekankan untuk segera dioptimalkan penyalurannya untuk dihabiskan kepada kepada fakir dan miskin yang jumlahnya begitu besar di negeri kita, maka dana infaq memungkinkan para ’amilin (amil zakat) untuk membuat program-program pemberdayaan yang lebih produktif dan diharapkan memberi solusi yang tepat, seperti pemberdayaan bidang UKM (usaha kecil dan menengah). Sebagaimana sebaiknya kita memberikan kail daripada memberi ikan maka seperti itulah gambaran pemanfaatan dana infaq sebaiknya kepada kaum dhuafa di negara kita. Belakangan ini kita sering mendengar pola pendekatan pemanfaatan dana infaq seperti ini dengan istilah Infaq Produktif.
Sebagai ilustrasi kita bisa lihat, seandainya masyarakat kelas menengah di Indonesia ini, katakanlah 1% saja dari seluruh jumlah penduduk berinfaq dengan menyisihkan gajinya sebesar Rp 50.000,- setiap bulannya, maka akan terkumpul sejumlah 100 milyar rupiah. Sebuah angka yang cukup besar yang untuk bisa kita kembangkan pada sektor UKM yang biasanya angka pertumbuhan rata-ratanya mampu menyerap setidaknya 2 atau 3 orang tenaga kerja baru per unit usaha dengan jumlah pinjaman sebesar hanya 1 sampai 3 juta rupiah berdasarkan pengalaman penyaluran dana di BMT di Jakarta selama ini.
Itu artinya bila dipukul rata saja, pinjaman usaha sejumlah 1 juta rupiah per orang dari 100 milyar, berarti ada 100.000 unit usaha kecil baru yang dikembangkan setiap bulannya di Indonesia hanya dari dana infaq dan katakalah bila rasio keberhasilannya 80% saja, itu adalah sebuah angka yang cukup menjajikan sebenarnya bagi solusi persoalan kemiskinan kita selama ini di tanah air kita. Jelas sudah terlihat sekarang bahwa bila kita membudayakan diri berinfaq maka sesungguhnya ia bukan hanya sebuah bentuk kesholehan pribadi. Namun juga kesholehan sosial bila dikelola dengan benar dan ada skenario besar yang sungguh-sunguh ingin menjadikannya sebagai sebuah gerakan sosial yang tertata rapi bukan hanya pada sektor pengumpulannya, namun juga kontrol penyalurannya nanti di lapangan.
Cash Wakaf
Salah satu bentuk infaq produktif yang sangat populer dan banyak dikembangkan saat ini adalah cash wakaf (wakaf uang tunai). Bangladesh adalah sebuah negara muslim yang dianggap sukses dalam memberdayakan ummat melalui infaq produktif dengan menerapkan konsep cash wakaf. Di negara itu, masyarakat Islam didorong untuk berinfaq dalam bentuk waqaf, sebanyak 1 dollar. Dana yang terkumpul tersebut dikelolala oleh bank syari’ah, lalu bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, pendidikan, kesehatan dan kegiatan keagamaan. Dana cash wakaf yang terkumpul digunakan untuk membiayai usaha-usaha ummat sehingga implikasinya dapat menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan. Adalah Prof.Dr. M.A, Mannan sebagai perintis dan pelopor gerakan cash wakaf tersebut. Dengan infaq produktif tersebut dia bahkan mendirikan bank syari’ah dengan nama SIBL (Social Invesment Banking Limited)
Di Timur Tengah program wakaf produktif dalam bentuk cash wakaf telah lama dinikmati keberhasilannya. Sebut saja Al Azhar University Cairo merupakan salah satu potret keberhasilan program wakaf uang tunai. Di Indonesia potensi mengembangkan wakaf produktif sangat besar, mengingat bank-bank syari’ah yang mengelola dana secara profesional telah muncul. Bank Muamalat Indonesia, merupakan bank syari’ah pertama yang telah mengembangkan konsep infaq produktif tersebut. Mekanismenya, umat Islam menginvestasikan sejumlah uang di bank syariah, dalam masa dan jumlah tertentu, misalnya Rp 2.000.000,- untuk jangka waktu satu tahun, dengan niat bagi hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan. Diasumsikan, nilai bagi hasil yang diperoleh per bulan dari dana tersebut sekitar Rp 6.000 s/d Rp 8.000 (sesuai dengan hasil usaha bank). Jika ada ummat Islam sebanyak 10.000 orangyang berwakaf secara produktif sebesar itu, maka dana beasiswa yang terkumpul sebanyak 60 sampai 80 juta. Dana ini bisa membantu dan menyelamatkan biaya pendidikan anak tak mampu sebanyak 800 orang dengan asumsi Rp 100.000 perbulan. Apabila setiap kantor cabang bank syari’ah melakukan gerakan ini, maka dipastikan puluhan ribu anakanak miskin bisa disekolahkan, bahkan sampai Perguruan Tinggi.
Yang unik dari gerakan cash wakaf yang produktif ini, ialah, bahwa dana investasi yang berjumlah misalnya, Rp 2.000.000 tersebut tidak akan hilang sedikitpun. Keberadaannya terjamin, sebagaimana dana deposito yang ada di bank syari’ah. Yang diinfaqkan hanyalah bagi hasilnya. Jadi , cash wakaf ini, bisa dibatasi waktunya (muaqqat), sesuai dengan pendapat mazhab Maliki dan ulama-ulama kontemporer. Masa cash wakaf tersebut bisa 1 tahun, 2 tahun, dst dan bisa juga untuk selamanya (muabbad). Fatwa MUI dan UU No 41/1994 tentang wakaf uang telah melegitimasi wakaf muaqqat (yang terbatas waktunya) tersebut.
Selama ini, bentuk benda wakaf umumnya berupa harta benda tak bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda lainnya. Pemnfataannya pun bersifat konsumtif. Sementara wakaf uang, masih sangat terbatas Padahal di berbagai negara cash wakaf ini cukup berkembang. Menurut data Menag, porsi dana cash wakaf yang ada saat ini di dunia lebih dari 20 % dari total asset wakaf.
Perspektif Fikih
Ulama Hanafiyah membolehkan wakaf uang, sebagaimana kebolehan benda bergerak lainnya seperti mewakafkan buku, mushhaf,dll. Dalam masalah ini Ulama Hanafiyah mensyaratkan nilai uang tersebut tetap (baqa’), atau tidak hilang. Dari sinilah kalangan ulama Hanafiyah berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham sepanjang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah.
Wahbah az-Zuhaily berpendapat mewakafkan uang dibolehkan tapi dengan cara menjadikannya modal usaha dengan prinsip mudharabah, dan keuntungan diserahkan kepada mauquf ‘alaih. Imam Bukhari dengan mengutip Imam Zuhri menyebutkan kebolehan wakaf dinar dan dirham semacam di atas.(M.A.Mannan, 1997) Dengan demikian, dapat disimpulkan, ulama yang membolehkan wakaf uang berpendapat, wakaf uang diperbolehkan asal uang itu diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudharabah), kemudian keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang tersebut.
Kesimpulan
Infaq produktif melalui wakaf uang memiliki multiflier effect yang luar biasa untuk memberdayakan umat, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial lainnya, baik bagi anak-anak tak mampu maupun bagi pengusaha kecil.
Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai pengusaha lemah, tentunya setelah melakukan analisa kelayakan, agar dana tersebut tidak hilang atau rugi. sedangkan bagi hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan anak tak mampu, tetapi berprestasi. Sementara dana yang diinvestasikan (diwakafkan) bisa ditarik kembali pada waktu tertentu, sesuai keinginan orang yang berinfaq (wakaf muaqqat). Mudah-mudahan masyarakat Indonesia dapat melaksanakan gerakan ini, sebagaimana di negara-negara lain, sehingga upaya pemberdayaan umat dapat diwujudkan yang pad akhirnya dapat membantu mengurangi kemiskinan di Indonesia.